Wednesday, February 5, 2020

Ambil saja, nanti minta maaf

Saya tahu bahwa Anda orang baik lagi budiman. Foto di blog dikopi orang, Anda bilang, “Silakan saja.” Gambar kreasi Anda diambil orang, Anda katakan, “Syukurlah kalau sudi.” Bahkan jika barang ambilan itu mendatangkan uang bagi orang lain, dengan enteng Anda nyatakan, “Saya ikut senang, bisa kasih rezeki ke orang lain.”

Itu mulia. Terpuji. Kalau Anda masih lajang, tetangga di RT sebelah layak mencomot Anda sebagai menantu — dengan catatan: kalau anak tetangga mau (dan Anda tak malu).
Beres, kan? Nanti dulu. Akan menjadi masalah jika Anda menganggap orang lain sama baik hatinya dengan Anda.
Jika orang lain berkebalikan dari Anda tak berarti mereka itu culas, licik, kikir, loba dan tamak. Mereka punya hak untuk melindungi karyanya.
Maka jalan paling aman, jika memungkinkan, mintalah permisi untuk mengambil gambar orang lain untuk keperluan blog Anda.
Jika meminta permisi tak memungkinkan, antara lain karena tak ada alamat e-mail maupun kotak komentar, apalagi nomor ponsel, cantumkanlah nama web atau blognya sebagai sumber.
Lha kalau ternyata dia mengambil dari web orang lain yang tak Anda ketahui?
Apa boleh bikin, tahi kambing mungkin saja asin, anggap saja itu masalah dia. Yang penting Anda menempuh jalur aman.
Bagaimana kalau gambar itu tak jelas siapa pemilik hak ciptanya padahal beredar luas di internet, misalnya foto produk ala brosur atau foto bintang film?
Ya ambil saja, dengan catatan Anda yakin bahwa pemiliknya memang belum diketahui sampai kemudian muncul klaim. Artinya Anda sudah bersiap mencopot gambar itu kalau didesak, bahkan Anda sanggup meminta maaf.
Bagaimana dengan saya? Sementara ini untuk sumber yang tak diketahui, kalau ingat akan saya sebut dalam kreditasi sebagai unknown dan sebangsanya. Kalau pakai kreditasi “istimewa” kok malah membingungkan. Siapa dan apanya yang istimewa?
Dulu, jujur saja, saya malah main embat dengan keyakinan pembenar (yang bisa saja salah): “Kan nggak buat nyari duit.” Saya pun pernah melakukan kejahatan menggunakan foto seorang pria tua, entah siapa, untuk identitas lama saya ketika masih beralias. Saya tak tahu siapa pemilik hak cipta foto itu. Maka izinkanlah di sini saya minta maaf kepada ahli warisnya.
Lantas? Misalkan ahli hukum HAKI dan ahli blog menganggap pendekatan dalam posting ini salah, bahkan berbahaya, maka saya harus siap mengoreksi diri.
Terus kenapa saya memakai foto Che? Versi line art dari potret ini menyebar, dianggap milik publik, dan orang cenderung mengabaikan siapa fotografernya, yaitu Alberto Korda.
Korda memang mengizinkan pemakaian foto itu untuk penyebaran perjuangan menuju keadilan sosial. Kalau untuk iklan vodka, dia gusar.
Hubungannya dengan blog? Baiklah saya paksakan saja hubungannya. Bagaimana rasanya foto diembat orang, bertanyalah kepada Fahmi. Selebihnya silakan berdiskusi dengan Paman Patih Blontank Ilat Aleman.

No comments:

Post a Comment